Selasa, 12 Maret 2019

MANAKALA SANG IBU MEMANGGIL ANAKNYA


"Anakku, tahukah kamu kenapa aku memanggilmu?"
"Tidak, wahai bunda yg kukasihi sepenuh hatiku.... Apakah ananda telah berbuat salah?"
"Tidak ada yg salah dg apa yg telah engkau lakukan."
"Lantas apa yg menjadi masalah dg ananda?"
"Aku hendak bercerita sedikit, Anakku. Tolong sediakan waktumu untuk mendengarkan."
"Baik, Bunda."
   "Tersebutlah seorang pemuda yg ingin berguru. Tapi sampai lelah kakinya melangkah, semua gunung telah didakinya, semua hutan belantara telah dimasukinya..., tak satu pun guru yg mau menerimanya. Kau tahu anakku, kenapa...?"
   "Nanda tidak tahu, Bunda."
   "Sang calon guru selalu bertanya, 'jika sdh sakti, engkau ingin bagaimana?' Dijawab oleh si pemuda, 'Akan kukalahkan musuh2ku. Akan kubalas semua orang yg telah mempermalukanku. Akan kuhinakan semua orang yg telah menyakitiku....'  Anakku, sampai di sini engkau tahu kenapa semua guru menolak si pemuda?"
   "Ya, aku tahu, Bunda. Niat berguru pemuda itu TIDAK BAIK."
   "Betul. Ceritanya berlanjut. Si pemuda tidak putus asa. Sampai akhirnya ia menemukan guru yg mau menerimanya sbg murid. Kenapa guru itu mau menerimanya...??? Ternyata, tidak semua guru baik. Sang guru memanfaatkan rasa dendam dan amarah muridnya. Si pemuda justru dijadikan alat pembunuh, alat untuk melampiaskan segala rasa benci dan angkara murka sang guru... Singkat kata, guru dan murid sama2 jatuh dalam JURANG KENISTAAN."
   "Cerita yg luar biasa, Bunda. Tapi apa hubungannya dg Nanda?"
   "Jika engkau ingin belajar sesuatu, perbaikilah niatmu. Niat yg baik akan mempertemukanmu dg guru yg baik. Sungguh satu kesalahan jika engkau belajar sesuatu hanya untuk menunjukkan kpd orang2 yg meremehkanmu bahwa dirimu tak pantas diremehkan. Sungguh satu kesalahan jika engkau menimba ilmu hanya karena dendam dan sakit hati karena HINAAN ORANG."
   "Duh Bunda, maafkan aku..."
   "Hidup bukan tentang penghormatan orang..., nama baik..., pujian..., banyak pengikut..., menjadi termasyur...dll. Hidup adalah tentang dirimu sendiri. Bagaimana engkau mampu berbuat baik..., bagaimana engkau mampu menjalankan amanah..., bagaimana engkau mampu menjadi secercah sinar dalam kegelapan..., bagaimana engkau mampu memberikan pengorbanan atas rasa kemanusiaan. Jika dirimu kuat dan mampu menguasai dirimu sendiri, HINAAN itu ibarat pedang... yg bisa menusukmu tapi tak mampu melukaimu. Jika dirimu tetap teguh di jalan benar,  FITNAH itu ibarat tebing yg runtuh kemudian menguburmu..., tapi engkau tetap bisa bangkit dan keluar dg selamat. Kebenaran itu matahari. Cinta dan welas asih adalah sinarnya...."
   Glodok, 09032019, 1204

KARNA, KEHENDAK BEBAS, DAN KARMA



Karna, atau lbh dikenal sengan sebutan ADIPATI KARNA, adalah anak Kunti yang pertama hasil keisengannya memanggil Bhatara Surya dengan membaca mantra sakti hadiah dari Maharsi Durvasa, adalah seorang ksatria yang jujur dan berbudi luhur. Ia tidak memiliki genetik penjahat dalam darahnya. Ayahnya Dewa Surya, penguasa Matahari. Ibunya Dewi Kunti, keturunan bangsa Yadava yang termasyur. Ia berguru kepada Parasurama yang agung. Tapi mengapa hidup Karna diliputi cerita MENYEDIHKAN...?

Di penghujung perang Bharatayuda, saat roda kereta perangnya terperosok kedalam lumpur, saat ia lupa dengan semua ilmu yang dipelajarinya dari Parasurama, ia dengan syahdu bertanya pada Vasudewa Krisna : mengapa semua ini menimpaku ? Dimana keadilan itu ? Aku berjuang sendiri dengan kekuatanku, apa dosaku hingga kemalangan ini terus mengikutiku? Saat kecil aku dibuang oleh ibuku. Saat remaja aku ditolak berguru oleh Rsi Drona hingga aku terpaksa berdusta kepada Parasurama agar diterima sebagai murid, itupun aku lalu dikutuknya. Dan kini, disaat paling menentukan dalam hidupku, aku bahkan tak mampu mengingat mantra untuk memanggil Brahmastra. Vasudewa, mengapa ini semua terjadi padaku ?

Sang pemilik kehidupan, Vasudewa Krisna, tersenyum. Jawaban Vasudewa Krisna ini, layak kita renungkan dan jadikan suluh, penerang hidup, terutama dijaman yang semakin mudah menyeret kita keluar dari Dharma ini. Apa saja petuah sang pemilik kehidupan kepada Karna ?

1. Kamu lupa pada semua ilmu yang pernah kamu pelajari. Kutukan Parasurama karena kamu berdusta, hanyalah jalan bagi perwujudan karma yang kamu torehkan sendiri. Ketahuilah Karna, tujuanmu menuntut ilmu itu salah sejak awal. Kamu menuntut ilmu bukan untuk tujuan memberi sumbangan kebaikan bagi masyarakat, melainkan untuk balas dendam. Dendammu pada Arjuna adalah dendam yang tidak beralasan. Kamu membenci kelahirannya, padahal ia tidak pernah minta dilahirkan dari rahim bangsa Ksatria. Dendam itu sendiri adalah dosa. Tindakanmu karena motif dendam itu juga dosa. Adakah tindakan yang lebih buruk dari tindakan yang dimotivasi kebencian dan dendam ? Karna, seharusnya kamu belajar, memahami hakikat ilmu, untuk tujuan mulia, menyumbangkan kebaikan-kebaikan bagi masyarakat.

2. Kamu memang mendapat perlakuan yang tidak adil. Orang-orang tidak menghargai kekuatanmu hanya karena kelahiranmu. Itu adalah tindakan yang keji. Tapi Karna, mari aku ceritakan sebuah kisah. Dulu, ada seorang Resi bernama Jamadagni. Suatu hari, seorang
Ksatria bernama Kartawirya bersama anak-anaknya membunuh Rsi Jamadagni. Anak Rsi Jamadagni yang dibakar dendam bersumpah memerangi para Ksatria hingga ia berkeliling dunia 3 kali, tetapi dendamnya tidak kunjung padam hingga awatara Wisnu, Ramadewa, menyadarkannya. Ia akhirnya bertapa, bersemedi, mendedikasikan dirinya untuk kebaikan umat manusia. Kamu tau siapa putra Rsi Jamadagni itu ? Dialah gurumu yang juga mengutukmu, Parasurama. Andai karena kemarahannya itu dia bersekutu dengan kejahatan, tentu kini dunia mengenalnya sebagai penjahat pula. Tapi lihatlah, kini dunia menghormatinya sebagai Maharsi yang agung. Dunia memang dipenuhi ketidakadilan, kadang kekejaman. Responmu, yang lahir dari kehendak bebasmu, itulah yang menunjukkan kualitasmu. Dan karmamu muncul dari responmu itu. Saat kamu diperlakukan secara tidak adil, kamu memiliki 2 pilihan : pertama, kamu menggunakan energi, semangat dan kekuatanmu untuk menegakkan kebenaran dan berjuang untuk meluruskan ketidakadilan yang terjadi itu. Kedua, kamu bisa bertindak cengeng, mengeluh, dan berpihak kepada siapapun yang ada di seberang pihak yang berlaku tidak adil, tanpa menelisik kebenaran pihak-pihak itu. Sayangnya, kamu memilih jalan yang kedua. Hanya karena benci dan iri pada Arjuna, kamu memihak Kurawa. Karena memihak Kurawa, kamu ikut tertawa saat Drupadi ditelanjangi. Wahai Karna, kebenaran macam apa yang kau bela melalui persekutuanmu dengan Kurawa? Ketidakadilan yang kau alami, tidak membebaskanmu dari karma akibat pembelaanmu pada kejahatan. Ketidakadilan adalah satu hal. Responmu adalah tanggung jawabmu. Andaikan setiap ketidakadilan melahirkan dendam kesumat dan pembalasan dengan membangun persekutuan dengan kejahatan, dunia macam apa yang akan kita jumpai ?

3. Kamu mengira Duryodana berbaik hati padamu. Tidak ! Kamu tertipu, Karna. Kamu tidak dapat menilai pemimpin hanya dari satu tindakannya. Kamu harus menilai pemimpin dari karakternya. Kalau Duryodana memang orang baik, mengapa dia hanya menggelimangkan harta kepadamu ? Kenapa dia tidak melakukan hal yang sama pada rakyat Hastinapura? Karna, dia memberimu privilege, kekayaan, kekuasaan, hanya karena dia mengetahui dendammu pada Arjuna, dan bahwa kamulah satu-satunya pemanah yang mampu menandingi Arjuna. Hanya itulah tujuannya. Kebaikannya padamu hanyalah kebaikan palsu untuk memenuhi ambisinya. Dan kamu, Karna, menerima kemewahan itu hanya untuk mendapatkan jalan bagi pemenuhan dendammu. Dan untuk itu kamu rela bersekutu dengan kejahatan.

4. Semakin besar kekuatan dan kekuasaan seseorang, maka semakin besar tanggungjawabnya pada dunia. Perang Bharatayudha ini terjadi bukan hanya karena ketamakan Duryodana dan kelicikan Sangkuni. Tapi adalah kesalahan 3 orang : Kakek Bhisma, Mahaguru Drona, dan kamu sendiri, Karna. Dukungan kalianlah yang menyebabkan kejahatan membesar, merasa kuat dan berani mengobarkan perang melawan kebenaran. Maka Karna, hari ini, disini, terimalah kematianmu.

Empat nasihat Vasudewa Krisna itu, meskipun diuraikan ribuan tahun, masih dan tetap relevan hingga sekarang. Bisa menjadi bahan renungan, karena hal-hal yang menimpa Karna kadangkala juga menimpa kita. Hidup bukan saja tentang bagaimana melihat keluar,  tapi lbh kepada memperbaiki sikap di kedalaman diri pribadi.
   Salam damai dalam pancaran kasih. Rahayu.