Ribuan Bala tentara bergerak maju bagaikan ombak samudra
saling menerjang silih berganti. Gemerincing suara pedang dan kelewang
bersulingnya anak panah ditingkah jerit lengking anak manusia, seakan ilustrasi
musik kematian yang mengerikan. Itulah perang besar Baratayudha antara Pandawa
dan Kurawa.
Gelanggang perang Kurusetra yang terhampar luas bagaikan
sebuah pentas permainan drama perebutan nyawa. Panggung maut itu tampak
menyeramkan dikelilingi hutan tempat setan dan iblis bercokol turut berpesta
menonton kisah drama kematian. Mereka tertawa riang, mereka merasa senang
melihat darah berceceran daging berkeping-keping pertanda hancurnya peradaban
manusia nyawa tidak berharga.
Demikian perang Barata telah dimulai akibat Duryudana
menolak perdamaian. Tongkat panglima di pihak Kurawa berada di tangan si jago
tua Arya Bisma yang terkenal gagak sakti tiada tanding. Selain Bisma juga Dorna
mantan guru Pandawa ahli menggunakan senjata dan pakar strategi perang,
ditopang aji Chandra Birawanya Salya yang ganas mematikan. Sementara di pihak
Pandawa hanya memiliki seorang Kresna itu pun tak boleh terlibat langsung
secara fisik dalam perang, kecuali memberi petunjuk di saat Pandawa mengalami
kesulitan.
Demikianlah selama sembilan hari komando Kurawa di tangan
Bisma, serangan Pandawa praktis menjadi lumpuh. Tidak sedikit prajurit yang
mati perwira yang perlaya menghadapi amukan Bisma. Siasat gunung segara sulit
ditebus. Masuknya Arjuna dalam peperangan kekuatan agak seimbang, meskipun
untuk memperoleh kemajuan tetap seru.
Melihat perkembangan yang memprihatinkan, Pandawa mengadakan
pertemuan membahas bagaimana mengatasi situasi. Mereka bertanya kepada nasehat
agung Kresna. "Selama komando pihak Kurawa masih di tangan Bisma, Pandawa
tidak akan memperoleh kemajuan apalagi untuk keluar sebagai pemenang. Bisma tak
dapat dikalahkan oleh prajurit laki-laki betapapun saktinya," ujar Kresna.
"Kalau Bisma tak dapat dikalahkan oleh laki-laki, apa
harus sama perempuan?" seloroh Bima seenaknya saking keselnya. "Kau
benar, Dik. Di tangan prajuit wanitalah rahasia kelemahannya," Kresna
membenarkan pendapat Bima. Siapa lagi prajurit wanita kalau bukan Srikandi
istri Arjuna. Demikianlah kesokan harinya dengan didampingi Arjuna, Srikandi
menuju medan laga Kurusetra mengendarai kereta perangnya.
Terkejut Bisma melihat Srikandi menuju ke arahnya. Sementara
di angkasa sukma Dewi Amba yang pernah disakiti hatinya oleh Bisma telah siap
meraga sukma ke tubuh Srikandi, Bisma sadar bahwa lembaran hidupnya akan segera
berakhir. Ia berguman: "Amba aku takkan lari dari sumpahmu. Tapi aku
sebagai prajurit takkan membiarkan kemenanganmu akan mudah diraih,"
tegasnya.
Akhirnya dalam perang itu Bisma roboh setelah sebuah panah
Srikandi menancap didadanya yang kemudian disusul panah Arjuna mendorong panah
Srikandi bagaikan sebuah paku yang dipalu panah itu tembus ke punggung sang
Gangga putra. Tapi karena badannya penuh dengan panah, maka tubuhnya tidak
sampai menyentuh tanah. Ia seolah-olah berkasurkan panah, sedang kepalanya
terkulai.
Seketika perang dihentikan guna menghormat seorang pahlawan
agung yang banyak jasanya pada keturunan Barata. Hari itu Pandawa dan Kurawa
tampak akrab saling bertanya, sejenak mereka melupakan perang.
Bisma tersenyum puas karena telah memenuhi darma baktinya.
Karena kepalanya terkulai ia minta diganjal. Segera Duryudana memerintahkan
mengambil bantal empuk bersarungkan kain sutra. Tapi Bisma menolak katanya:
"Maaf, bantal ini terlalu bagus. Aku ingin bantal yang pantas buat seorang
prajurit." Bisma melirik pada Arjuna. Arjuna mengerti apa yang diminta.
Dengan mata berkaca -kaca Arjuna melepas tiga anak panah ketanah dan kepala
Bisma direbahkan tersangga oleh anak panah itu seraya berkata: "Nah, beginilah
pantasnya bantal seorang prajurit di medan laga. Jangan aku dipindah dari
sini," pintanya. "Oh, aku haus, tolong berikan air," Tanpa pikir
lagi Duryudana segera memerintahkan mengambil arak dan anggur. Pemberian itu
kembali ditolak dan Bisma melirik Arjuna, dilepaskanlah anak panah ke tanah
dibagian sisi kanan Bisma dan keluarlah air jernih memancar dari tanah dan
jatuh persis di mulutnya dan dengan nikmatnya ia minum air itu.
Sesaat kemudian Bisma berkata kepada Duryudana: "Wahai
cucuku Duryudana, kepandaian Arjuna menandingi Dewa. Dalam segala hal ia tampak
lebih menonjol. Karena itu dia bukan tandinganmu. Lebih baik berdamai,
berikanlah sebelah negeri ini kepada Pandawa dan hiduplahj rukun
bersamanya," wejangnya.
"Tidak eyang, perang tak akan berhenti dan sejengkal
tanah pun takkan kuserahkan. Aku yakin kemenangan akan berada di pihak
kami," sergahnya tegas. Begitulah keesokan harinya perang pun dimulai
lagi. Darah kembali ditumpahkan. Ribuan nyawa melayang... demi mengikuti
kerasnya kepala dan bekunya hati sang junjungan.
Untung tak dapat diraih.
Malang tak dapat ditolak. Kurawa hancur-lebur..., luluh-lantak..., sebagai
tumbal kehacuran atas sikap jumawa yg adigang-adigung-adiguna.
Pandawa memperoleh
kemenangan... tanpa sorak-sorai. Kemenangan dalam duka... karena yg kalah dan
terbunuh adalah saudara.