Selasa, 27 Februari 2018

SAMIAJI DALAM KONFLIK PILPRES


Samiaji adalah pewaris sah tahta Kerajaan Hastinapura. Kurawa yg berjumlah seratus  datang ke istana tanpa tata krama sbg layaknya seseorang yg juga keturunan raja. Mereka menekan dan meminggirkan peran Samiaji di istana Hastinapura.


Destarastra semakin terlihat  kondisi fisiknya tidak mampu sekedar membawa dirinya duduk di singgasana. Perannya semakin didominasi oleh sang anak sulung, Duryudana, yang oleh hasutan pamannya, Sangkuni, secara halus untuk mengambil alih kursi kekuasaan di negri itu.

Bisma dan Arya Widura yang semula mengambil posisi membantu Destarastra yang buta dalam memerintah negeri, justru oleh Duryudana dibuat seperti harimau ompong. Mereka tetap diberi keistimewaan di istana, tapi kekuasaan dan pengaruhnya perlahan dibatasi. Arya Widura hanya sekedar sebagai penasihat setelah Sangkuni, sementara Bisma yang seharusnya menjadi pimpinan tertinggi panglima perang negri Hastinapura, digeser menjadi ‘hanya’ sekedar penasihat, sementara panglima diserahkan kepada anak muda cakap yang kesaktiannya dikagumi Duryudana. Seorang anak muda bernama Karna, yang kemudian memang tahu berterima kasih dan selalu berdiri di belakang Duryudana.

Pengaruh Sangkuni terhadap Duryudana ternyata mampu membuatnya buta hati sehingga bisa memerintahkan muslihat untuk menjebak saudaranya sendiri di sebuah bale-bale dan membakarnya di saat mereka terlelap. Kisah ini dikenal sbg BALE SIGALA-GALA.

Beruntung Pandawa dapat selamat dan menyusuri dasar bumi, hidup di negri Sapta Pratala, jauh di kedalaman perut jagat. Eh..., beruntung...??? Tentu saja bukan! Disana ada peran amalan kesaktian Samiaji, yang pada tingkat kepasrahan tinggi, justru hal-hal yang diinginkan bisa terwujud, sekalipun hal itu merupakan sesuatu yang tak mungkin. Semua terkejut, ketika beberapa tahun kemudian mereka kembali lagi ke istana Hastinapura!

Belajar dari kisah Samiaji… dalam pilpres 2018…, siapa SAMIAJI-nya…? Siapa DURYUDANA-nya…? Tapi mudah2an tidak ada sang tokoh licik-jahat… SENGKUNI..!
Dalam sejarah  peradaban manusia, PEREBUTAN KEKUASAAN selalu menjadi kisah menarik.
Lewis Coser, seorang tokoh teori pemahaman konflik, berpendapat bahwa: masyarakat selalu berada dalam KONDISI KONFLIK. Menurutnya, suatu struktur sosial yg tampak tenang pun, juga dipenuhi beragam PERGOLAKAN dan upaya saling jegal guna menggoyahkan dan memperebutkan KEKUASAAN... Hakikat dari masyarakat adalah PEREBUTAN KEKUASAAN TANPA HENTI...!
Kubu yang berseteru saling melakukan konsolidasi (penguatan diri). Suatu konflik dapat dikatakan POSITIF apabila TIDAK MENYINGGUNG TEMA INTI. Tema inti yg dimaksud adalah PERIHAL MENDASAR YG MELANDASI SUATU HUBUNGAN.
Contoh kasus:
-  Seorang suami-istri tidak akan BERCERAI apabila memperdebatkan masalah kemana TUJUAN PIKNIK MINGGU INI. Hal ini beda dengan...
-  Seorang suami ketahuan SELINGKUH, dan terjadilah perdebatan.

Loyalitas atau kesetiaan adalah PELETAK DASAR dalam hubungan suami-istri.  Begitu pula bila dua orang sahabat tidak akan jadi musuh apabila hanya memperdebatkan SIAPA YG AKAN MEMBAYAR KOPI YG TELAH DIMINUM.
Dalam ranah kenegaraan, NKRI tidak akan pecah manakala ADA KOMPROMI antara mereka yg PRO PANCASILA DAN YG TIDAK, yg nasionalis dan yg agamis, demokrasi ataukah kilafah. Disinilah dibutuhkan SAFETY VALVE (katup penyelamat) untuk menjadi MEDIATOR atas konflik yg terjadi. 

Maka... biarlah menjadi begitu.... NUSANTARA AKAN JAYA PADA WAKTUNYA. Diawali konflik besar.... SATRIA PININGIT muncul ke permukaan... Membawa damai dan kesejahteraan. Dan tetaplah ELING LAN WASPADA...

JAYA DAN JAYALAH… INDONESIAKU…!!!

NUSANTARA DAMAI, TENANG, RAHAYU….

Glodok, Karangrejo, 27/2/2018, 9.34 PM

Minggu, 18 Februari 2018

MUNGKINKAH MENIKMATI SURGA TANPA KESADARAN RUH


   
Suatu kali aku main ke rumah Jon Koplo. Seperti biasa istrinya ikut menyambut dengan ramah.  Setelah dihadapkan segelas kopi dan makanan kecil , aku berbincang.
   “Kabar anak-istrimu gimana?” Tanya Jon Koplo.
   “Alhamdulillah… baik-baik saja,” jawabku.
   “Badanmu makin kurus  saja. Jangan banyak pikiran to….”
   “Hahaha…. Badan kurus tidak ada hubungannya dengan banyak pikiran atau tidak.  Badan kurus… atau badan gemuk… kalo ada hubungannya dengan hidup makmur … mungkin ‘iya’…”
   Jon Koplo ikut tertawa, “Eh.., ngomong dingomong,  ada kalimat bijak… UCAPANMU MENUNJUKKAN JALAN PIKIRANMU. TINDAKANMU MENUNJUKKAN SIAPA DIRIMU. Sementara…, jalan pikiran berperanan utama dalam sebuah tindakan. Pikiran keliru menghasilkan tindakan keliru. Pikiran lurus menghasilkan tindakan lurus…. Tapi masalahnya…, bagaimana kita bisa MENJAGA SUPAYA JALAN PIKIRAN TETAP DALAM KONDISI LURUS…?”
   “Nah itu…,” sahutku. “Banyak orang MERASA BENAR padahal cuma menjadi PEMUAS EGO PIKIRAN yang selalu mencari PEMBENARAN DIRI.  Pikiran benar sangat tergantung dari pengalaman hidup seseorang. Dalam pikiran benar  tidak berlaku rumus 1+1=2. Pikiran benar dalam otak seseorang sifatnya absurd, relative, dan tidak mutlak.”
   “Betul. Pikiran bekerja selama otak masih berfungsi secara medis.  Kesadaran pikiran seseorang akan hilang lenyap… jika otak tdk lagi berfungsi. Manusia yg otaknya tak lagi berfungsi dikatakan bahwa ia TELAH MATI. Tapi…. Otak yg masih berfungsi tidak otomatis ia masih punya kesadaran pikir. Sementara, kesadaran pikir inilah yang membuat seseorang bisa merasakan kesenangan, kenikmatan, belajar sesuatu, atau  sekadar berharap dan berangan-angan…”
   Aku diam saja. Setelah nyeruput kopinya, Jon Koplo melanjutkan bicaranya.
   “Sejak kita mengenal dunia hingga kita dewasa dan menua seperti sekarang ini… semua bacaan, semua pelajaran…, semua inputan…, semua induksi baik positif ataupun negative… MASUKNYA KE DALAM KESADARAN PIKIR yg bersumber di otak.  Coba kalau ada seorang dokter jatuh terbentur kepalanya, kemudian terganggu fungsi otaknya, maka bisa saja semua ilmu kedokterannya hilang begitu saja. Karena, ada yg hilang dalam kesadaran pikirnya.
   Kesadaran pikir… boleh kita sebut sebagai JIWA. Orang yg kesadaran pikirnya mengalami gangguan,  orang ini disebut  SAKIT JIWA.  Orang ini tidak lagi memiliki kontrol terhadap apa yg ia lakukan.  Ia bisa mekakukan apa saja tanpa peduli akan akibatnya. Meloncat dari jembatan yg tinggi pun, ia tdk takut, padahal itu bisa membunuhnya.
    Oke… kita kembali dulu ke anasir pembentuk manusia. Di sana ada ruh…, pikiran…, dan raga. Kesadaran ruh bisa kita namakan sebagai SUKMA. Ruh mutlak harus ada agar manusia bisa disebut HIDUP. Sementara…, hidup di alam fana… seseorang harus memakai raga. Dan raga bisa uzur kemudian berhenti semua fungsi organnya alias MATI. Rasa enak atau tidak enak, nikmat atau tidak nikmat…, yg merasakan adalah KEASADARAN PIKIRAN… bukan raga! Walaupun rasa-rasa itu langsung bersentuhan dengan raga.
   Sederhananya begini…, seseorang yg DIBIUS  TOTAL…, katakanlah hendak menjalani operasi,  maka dia tidak akan bisa merasakan apapun… karena KESADARAN PIKIRNYA SUDAH HILANG. Tapi orang ini masih hidup karena dia masih punya ruh. Masalahnya…. Tidak dulu… tidak sekarang… banyak orang yg TIDAK MENGENAL RUH-nya SENDIRI. Padahal…, saat seseorang sudah mati… bukankah ruh-nya akan terus hidup… dan ABADI. Bagaimana mungkin RUH BISA MERASAKAN SURGA sementara sang ruh ini TIDAK PUNYA KESADARAN…????”
   Aku manggut-manggut saja. “Bener juga sih. Maka aku suka heran melihat orang yg sangat yakin akan masuk surga… sementara kesadaran ruh-nya tidak pernah diperbaiki.”
   “Bagaimana cara kita mengenal ruh kita sendiri… biar kalau raga mati, ruh kita tidak jadi linglung dan tersesat karena tdk punya keasadaran….?”
   “Caranya…?”
   “Wah…, keasyikan ngobrol…, sori loh ya… sudah malam. Besok bisa dilanjut,” pungkas Jon Koplo.
   Aku pun berpamitan.
Banyak jalan menuju Roma.
Dan jalan itu bisa dari mana saja.


Glodok, 18 Februari 2018.  5.24 PM.

Kamis, 15 Februari 2018

ANDA SAKIT JIWA

  
Beberapa hari yang lalu, Sodrun berkunjung untuk menjenguk kerabat di RS-Jiwa Menur.
Kebetulan bukan di jam sibuk, Sodrun menemui seorang dokter, dan  mengajaknya ngobrol-ngobrol tentang segala hal. Mulai dari bagaimana penanganan pasien sampai ke masalah-masalah umum dalam hidup.
Sampai tiba saatnya ketika Sodrun bertanya kepada dokter itu....
“Dok, gimana sih caranya dokter ngetest pasien-pasien dokter itu masih gila atau sudah waras ?”
“Oh mudah saja, kami mengisi bak mandi dgn air sampai penuh, lalu kami suruh mereka mengosongkan bak mandi dgn memberikan ke orang itu :
1. Sendok Teh
2. Gelas
3. Gayung
Pilih yang mana ?
Lalu kita minta dia untuk mengosongkan bak mandi itu”, jawab si Dokter.
“Ooooh… yang sudah waras pasti pasti pilih gayung. Soalnya itu paling gede dan cepat", kata Sodrun dengan penuh percaya diri.
Terjadi keheningan sejenak . .
...........................
…………………………
Lalu sang Dokter berkata, “Tidak, kalau orang itu sudah normal, dia akan cabut aja penyumbat bak mandi nya…"
Sodrun bengong….

Sahabat…, apa pesan moral dari cerita di atas???
Sadarkah Anda bahwa dalam hidup ini Anda pernah…, atau bahkan sering…, membuat pilihan  yang sebenarnya itu bukanlah pilihan yang tepat…? Anda memilih… memutuskan sesuatu…, hanya berdasarkan EGO… biar kelihatan “wah”. Biar kelihatan Anda adalah manusia superior. Anda masih butuh sebuah PENGAKUAN, padahal semua itu hanyalah produk KESADARAN PIKIR…, yg mencari kepuasan ego dan kenyamanan dengan memaksakan pembenaran sesaat…!


Hidup memang pilihan. Tapi hidup bukanlah MULTIPLE CHOICE dimana jika Anda memilih salah salah satu, pasti ada yang benar. Bukan! Kayakinan saja tidak cukup. KAWERUH atau input yg benar-lah yang akan menyelamatkan Anda dari pilihan yg salah! Jika Anda sakit jiwa…, maka hilanglah semua ilmu atau apapun pengetahuan yg pernah Anda pelajari seumur hidup!

BERKESEDARAN SECARA UTUH… Tidak separuh-separuh! Kesadaran pikir selalu punya ALIBI dan CARA untuk menemukan PEMBENARAN. Tragisnya, jika Anda mati…, mengenal diri Anda secara ruh,  mustahil bisa. Karena…, kesadaran yg berperanan cuma kesadaran pikir yg berpusat di otak. Jika otak Anda mati secara medis, maka hilang sudah semua kontrol terhadap hidup Anda yg selanjutnya. Hidup secara ruh…, bekalnya adalah kesadaran ruh.

Glodok, 15 Februari 2018, 7.27 PM