Tak ada yang dapat membuatku sebahagia ini
Dimana getar kerinduan ini tak kan sirna temakan usia
Dia….
Adalah api yang tak pernah mati
Hidup dan berkobar dalam hati
Yang tumbuhkan asa….
Tuk taklukkan dunia
Dia bukanlah istimewa
Kesederhanaannya adalah kekuatannya
Aku… mencintainya apa adanya…
Aku terkejut membaca deretan kata yang tertulis rapi di buku catatan biologi itu. Tak sadar aku membacanya berulang kali. Siapa yang dimaksud dengan “dia”. Mungkinkah….?
“Rey…”
“Eh, ya…,” terkejut aku mendengar sapaan itu.
"Sudah bukunya?”
Ternyata yang datang Rio. Kontan isi dadaku berdegup kencang. Laksana lupa aku menarik napas….
“Kok diem…? Sudah belum bukunya?"
“Eh ya, belum…,” jawabku sekenanya.
“Kok belum? Emang semalam kamu gak belajar?
“Eh ya ya… sudah,” aku makin gugup.
Rio tersenyum. Memandangku dengan mata elangnya. Duh Tuhan…, tak kuasa aku menatapnya berlama-lama. Detak jantungku berubah jadi ombak dahsyat. Menggeletar dan membuatku semakin salah tingkah.
Rio adalah cowok paling ganteng di kelasku. Bahkan mungkin, paling ganteng di sekolah ini. Semua murid kelas VIII dan IX pasti mengenalnya. Murid kelas VII pun kukira banyak pula yang telah mengenalnya. Kuyakin, Rio begitu sempurna di mata cewek mana saja.
Rio juga pintar dan ramah. Temannya banyak. Sementara aku…? Aku hanyalah sebatang rumput di tengah padang ilalang. Apa keistimewaanku? Wajah biasa saja. Pintar juga enggak. Lalu kenapa aku selalu mengharapkannya? Dasar pungguk! Umpatku kepada diriku sendiri. Sudah tahu gak bakalan kesampaian, masih mengharapkannya juga. Huh!
“Hei Rey…," sapa Rio lagi di lain waktu.
Seperti biasa aku seperti gagu dan tertegun dibuatnya. Mata elangnya itu yang selalu membuartku terpukau. Seakan hilang semua akalku.
“Nanti ikut nengok gak?”
“Eh, emang siapa yang sakit?” kalimat ini meluncur tanpa sadar dari mulutku.
“Kamu ini bagaimana sih, Rey? Masa’ teman sekelas sakit gak tahu?"
“Eh…, ya Sasha… yang sakit….”
“Gimana? Nanti aku jemput ya?”
“ Jemput? Eh, jangan…,” aku bingung mesti bilang gimana. Aku tak percaya dengan pendengaranku sendiri.
“Alah, jangan banyak alasan. Aku jemput jam tiga tet. Gak ada alasan untuk menolak.!”
Jika teringat peristiwa itu, sering aku tersenyum sendiri. Maaf ya, Sasha… Kamu yang dapat sakitnya…, aku yang dapat berkahnya… Aku tahu kamu juga suka sama Rio. Tapi maaf, aku juga tidak bisa membohongi perasaaku sendiri. Sepulang dari rumahmu kemarin itu, Rio memaksaku untuk mampir ke rumahnya. Dia memaksaku juga untuk membaca sebuah novel karya pengarang favoritnya.
Waktu kubuka halaman pertama novel itu, aku melihat ada coretan pena berupa puisi tulisan Rio. Kamu mau tahu apa isi puisi itu, Sasha? Oke, aku tuliskan di sini.
AKU TETAP MENCINTAINYA APA ADANYA
Waktu boleh berlalu
Hari pun boleh berganti
Namun cintaku akan tetap ada padanya
Kesederhanaannya adalah kekuatannya
Aku tak tahu apa itu cinta
Tapi aku yakin yang kurasa ini adalah cinta
Hanya cinta milknya…
Yang membuatku bahagia
Selamanya….
Tuk kamu Reyna
Kesederhanaanmu adalah kekuatanmu
Semoga kau mengerti
Aku mencintaimu apa adanya….
Duh Tuhan…, adakah yang lebih besar dari anugerah-Mu ini? Rio mencintaiku… Bukankah memang itu yang kuharapkan? Tapi Rio…, kamu terlalu sempurna untukku.
Maaf Rio, bukan suatu bentuk kesombongan kalau aku bilang “tidak”. Aku bukan Cinderella yang pantas berdampingan dengan seorang pangeran.
Maaf Rio..., biarlah aku memiliki cintamu tanpa harus memiliki dirimu. Ada yang jauh lebih baik dan sempurna dibanding seorang Reyna.
Dan akupun menangis…
Bukan tangis penyesalan…, kuyakin….
Aku inginkan yang terbaik untukmu.
Dan itu tak akan kau dapat dariku.
Dan akupun menangis lagi….
Menangis lagi….
oleh Susilo Pranowo pada 20 Juli 2011 jam 11:48
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SILAKAN BERKOMENTAR SESUKA HATI. NAMUN APAPUN ITU ADALAH CERMINAN DIRI ANDA.