Suatu kali aku main ke rumah Jon Koplo. Seperti biasa
istrinya ikut menyambut dengan ramah.
Setelah dihadapkan segelas kopi dan makanan kecil , aku berbincang.
“Kabar anak-istrimu
gimana?” Tanya Jon Koplo.
“Alhamdulillah… baik-baik
saja,” jawabku.
“Badanmu makin
kurus saja. Jangan banyak pikiran to….”
“Hahaha…. Badan
kurus tidak ada hubungannya dengan banyak pikiran atau tidak. Badan kurus… atau badan gemuk… kalo ada
hubungannya dengan hidup makmur … mungkin ‘iya’…”
Jon Koplo ikut
tertawa, “Eh.., ngomong dingomong, ada
kalimat bijak… UCAPANMU MENUNJUKKAN JALAN PIKIRANMU. TINDAKANMU MENUNJUKKAN
SIAPA DIRIMU. Sementara…, jalan pikiran berperanan utama dalam sebuah tindakan.
Pikiran keliru menghasilkan tindakan keliru. Pikiran lurus menghasilkan tindakan
lurus…. Tapi masalahnya…, bagaimana kita bisa MENJAGA SUPAYA JALAN PIKIRAN
TETAP DALAM KONDISI LURUS…?”
“Nah itu…,”
sahutku. “Banyak orang MERASA BENAR padahal cuma menjadi PEMUAS EGO PIKIRAN
yang selalu mencari PEMBENARAN DIRI. Pikiran benar sangat tergantung dari
pengalaman hidup seseorang. Dalam pikiran benar
tidak berlaku rumus 1+1=2. Pikiran benar dalam otak seseorang sifatnya
absurd, relative, dan tidak mutlak.”
“Betul. Pikiran
bekerja selama otak masih berfungsi secara medis. Kesadaran pikiran seseorang akan hilang
lenyap… jika otak tdk lagi berfungsi. Manusia yg otaknya tak lagi berfungsi
dikatakan bahwa ia TELAH MATI. Tapi…. Otak yg masih berfungsi tidak otomatis ia
masih punya kesadaran pikir. Sementara, kesadaran pikir inilah yang membuat
seseorang bisa merasakan kesenangan, kenikmatan, belajar sesuatu, atau sekadar berharap dan berangan-angan…”
Aku diam saja.
Setelah nyeruput kopinya, Jon Koplo melanjutkan bicaranya.
“Sejak kita
mengenal dunia hingga kita dewasa dan menua seperti sekarang ini… semua bacaan,
semua pelajaran…, semua inputan…, semua induksi baik positif ataupun negative…
MASUKNYA KE DALAM KESADARAN PIKIR yg bersumber di otak. Coba kalau ada seorang dokter jatuh terbentur
kepalanya, kemudian terganggu fungsi otaknya, maka bisa saja semua ilmu
kedokterannya hilang begitu saja. Karena, ada yg hilang dalam kesadaran
pikirnya.
Kesadaran pikir…
boleh kita sebut sebagai JIWA. Orang yg kesadaran pikirnya mengalami gangguan, orang ini disebut SAKIT JIWA.
Orang ini tidak lagi memiliki kontrol terhadap apa yg ia lakukan. Ia bisa mekakukan apa saja tanpa peduli akan
akibatnya. Meloncat dari jembatan yg tinggi pun, ia tdk takut, padahal itu bisa
membunuhnya.
Oke… kita kembali dulu ke anasir pembentuk
manusia. Di sana ada ruh…, pikiran…, dan raga. Kesadaran ruh bisa kita namakan
sebagai SUKMA. Ruh mutlak harus ada agar manusia bisa disebut HIDUP. Sementara…,
hidup di alam fana… seseorang harus memakai raga. Dan raga bisa uzur kemudian
berhenti semua fungsi organnya alias MATI. Rasa enak atau tidak enak, nikmat
atau tidak nikmat…, yg merasakan adalah KEASADARAN PIKIRAN… bukan raga!
Walaupun rasa-rasa itu langsung bersentuhan dengan raga.
Sederhananya begini…,
seseorang yg DIBIUS TOTAL…, katakanlah
hendak menjalani operasi, maka dia tidak
akan bisa merasakan apapun… karena KESADARAN PIKIRNYA SUDAH HILANG. Tapi orang
ini masih hidup karena dia masih punya ruh. Masalahnya…. Tidak dulu… tidak
sekarang… banyak orang yg TIDAK MENGENAL RUH-nya SENDIRI. Padahal…, saat
seseorang sudah mati… bukankah ruh-nya akan terus hidup… dan ABADI. Bagaimana
mungkin RUH BISA MERASAKAN SURGA sementara sang ruh ini TIDAK PUNYA KESADARAN…????”
Aku manggut-manggut
saja. “Bener juga sih. Maka aku suka heran melihat orang yg sangat yakin akan
masuk surga… sementara kesadaran ruh-nya tidak pernah diperbaiki.”
“Bagaimana cara kita
mengenal ruh kita sendiri… biar kalau raga mati, ruh kita tidak jadi linglung dan
tersesat karena tdk punya keasadaran….?”
“Caranya…?”
“Wah…, keasyikan
ngobrol…, sori loh ya… sudah malam. Besok bisa dilanjut,” pungkas Jon Koplo.
Aku pun berpamitan.
Banyak jalan menuju Roma.
Dan jalan itu bisa dari mana saja.
Glodok, 18 Februari 2018.
5.24 PM.