Di lain kesempatan Amin melihat banyak orang berkerumun di lapangan. Tua-muda, besar-kecil, sama-sama tak mau mengalah. Mereka berjubal dan saling serobot untuk bisa masuk ke tengah lapangan.
Terdorong rasa ingin tahu, Amin ikut masuk ke tengah kerumunan itu. Apa gerangan yang membuat semua orang begitu antusias?
Setelah serondol sana serondol sini, sikut kanan sikut kiri, akhirnya Amin berhasil juga ke tengah lapangan. Mengkerut dahi anak ini melihat pamandangan yang terpampang di hadapannya. Seperti layaknya acara peringatan hari kemerdekaan, di tengah lapangan ditancapkan kokoh batang pohon pinang. Sementara ratusan, atau bahkan ribuan orang berebut untuk bisa naik ke puncak batang pinang.
Mereka-mereka yang tengah “ikut lomba” itu tampak beringas dan main kasar. Ibu-ibu saling jambak, saling cakar, dan berusaha mencegah ibu-ibu lainnya agar tidak bisa naik ke batang pohon pinang. Yang bapak-bapak bersikap lebih tak manusiawi lagi. Mereka saling jotos, saling tendang, banting sana banting sini. Intinya sama saja, mereka semua saling cegah agar “sang lawan” tidak bisa naik ke batang pohon pinang. Sepertinya mereka menganggap batang pohon pinang itu adalah miliknya, dan hanya dirinyalah yang boleh naik ke puncak batang pinang itu.
Amin belum begitu paham akan apa yang tengah terjadi. Dengan bola matanya yang bening penuh keluguan, anak ini dengan jelas melihat apa yang berada di puncak batang pinang. Benda yang manggantung itulah yang diperebutkan oleh orang-orang yang kayaknya sudah lupa daratan itu.
Di puncak batang pohon pinang menggantung sebuah lempengan logam yang memancarkan sinar berkilauan. Lempengan logam itu cukup besar dan terpahat jajaran huruf yang terbaca :
K-E-K-A-Y-A-A-N.
K-E-K-A-Y-A-A-N.
“o, rupanya mereka tengah berusaha mati-matian untuk mendapatkan kekayaan…, “ gumam Amin.
Dengan penuh lugunya amin kemudian ngeloyor pergi meninggalkan orang-orang beringas itu. Tentu saja ia membawa segudang tanda tanya di benaknya.
“Ada apa, Cucuku,” tegur sang nenek keesokan harinya. “Kamu kok tampak sedang memikirkan sesuatu?”
“Nenek…, Amin ingin bertanya?” sahut Amin.
“Ya, bertanya soal apa?”
Amin kemudian menceritakan apa yang dilihatnya kemarin itu. Kemudian ia bertanya, “Apakah kekayaan begitu berharganya sampai mereka berebut seolah menghalalkan segala cara, Nek?”
“Kekayaan memang amat berharga, Cucuku. Bahkan pada sebagian orang, kekayaan bisa jadi lebih berharga dibanding nyawanya sendiri.”
“Kenapa bisa begitu, Nek?”
“Dengan kekayaan, segalanya akan jadi mudah. Urusan yang sulit jadi mudah. Yang salah pun bisa jadi benar.”
“Alangkah hebatnya kekayaan itu, Nek….”
“Ya, kekayaan memang hebat tiada taranya. Punya kekuatan dahsyat luar biasa. Dan ketahuilah, di dunia ini ada dua macam kekayaan, Cucuku….”
“Apa saja itu, Nek?”
“Kaya spiritual dan kaya material. Tapi orang lebih cenderung mengejar kekayaan material.”
“Ya, Amin tahu, Nek. “
“Jika besar kelak, apakah kau juga ingin jadi orang kaya, Cucuku?” tanya sang nenek serius.
Tanpa pikir panjang amin langsung menjawab, “Ya, Nek. Amin ingin jadi orang kaya.”
“Kaya yang kau maksud tentu kaya dalam arti material.”
Amin mengangguk pelan.
“Agar kau nanti tidak disesatkan oleh kekayaanmu, seyogyanya kau kaya spiritual lebih dulu. Tahu maksud nenek?”
Amin terdiam.
“Jika kau tidak bisa memperkaya dirimu dengan spiritualisme, kekayaan yang kau dapatkan nanti hanya akan mungubah dirimu manjadi manusia yang meterialistis, egois, dan hedonis.”
Amin jadi bengong. Apa salahnya manusia ingin kaya?
Tapi Amin tetap teguh pada pendiriannya.
Ia tetap ingin jadi orang kaya
By : Susilo Pranowo
Kamis, 28 Juli 2011. Pk. 9.09 PM
(Bersambung}
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SILAKAN BERKOMENTAR SESUKA HATI. NAMUN APAPUN ITU ADALAH CERMINAN DIRI ANDA.