(sebuah cerpen untuk seseorang yang aneh)
ARMAN adalah lelaki 40 tahunan. Berperawakan sedang. Berwajah lumayan. Punya usaha yang cukup mapan. Sepanjang usianya, ia LEBIH BANYAK menggunakannya untuk BEKERJA DAN BERKARYA. Hobinya cuma MEMBACA dan MENULIS CERITA PENDEK.
Apa yang TAMPAK pada sosok Arman adalah sesuatu yang BIASA-BIASA SAJA. TIDAK ADA yang ISTIMEWA. Ia juga TAK POPULER di mata PARA WANITA walau sebenarnya ia seorang DUDA.
Bebera minggu yang lalu Arman bertemu dengan seorang gadis cantik berumur 25 tahunan. MIRTA namanya. Sebagai seorang lelaki yang sudah cukup matang, Arman tahu bila Mirta menaruh hati padanya. Sebenarnya, Mirta memang telah cukup lama mempehatikan Arman. Jauh sebelum pertemuan itu terjadi.
Mirta adalah sekretaris sebuah PT yang baru saja memberikan ORDER ADVERTISING pada ARMAN. Hari-hari setelah Arman menerima order itu, ternyata jadi hari-hari YANG MENJENGKELKAN. Hampir tiap jam, Mirta selalu menelepon, menanyakan order perusahannya. Padahal, Arman sejak awal sudah memberi tahu bahwa pekerjaan advertising itu butuh waktu 1 bulan untuk menyelesaikannya.
“Maaf Mbak Mirta…, bukankah sudah berulang kali saya katakan bahwa pekerjaan itu masih dalam PROSES PERENCANAAN?” ujar Arman saat Mirta menanyakan lagi order perusahaannya.
“Iya, saya tahu, Mas Arman,” tukas Mirta. “Tapi bos saya minta diselesaikan lebih cepat.”
“Itu tidak bisa, Mbak. Dari awal sudah saya katakan bahwa pekerjaan itu butuh waktu 1 bulan.”
“Iya tapi….”
Mirta tak sanggup meneruskan kalimatnya. Tatap mata Arman tiba-tiba menghujam ke relung kalbunya.
“Saya tahu… Mbak Mirta datang ke sini bukan mewakili perusahaan Mbak.”
Satu kalimat yang terucap dengan suara berat dan tegas keluar dari mulut seorang Arman, lelaki yang memang sudah matang dan berpengalaman. Lidah Mirta jadi kelu. Kepalanya tertunduk lesu….
“Sekarang Mbak Mirta jujur saja. Apa yang Mbak Mirta inginkan dari saya?”
Lidah Mirta terlanjur kaku. Mulutnya terbungkam bisu.
“Maaf bila saya salah menebak. Apakah Mbak Mirta menginginkan SAYA SEBAGAI SEORANG PRIBADI, dan bukan lagi SEBAGAI SEORANG REKANAN KERJA…?”
Mirta masih tertunduk, macam seorang terdakwa.
“DIAM bisa mengandung BANYAK ARTI…,” ucap Arman kemudian, “Dalam KESENDIRIAN saya sangat suka MENGAMATI. Dan dalam PENGAMATAN YANG PANJANG, saya memperoleh ILMU NYATA yang sungguh sangat BERMANFAAT dalam ACUAN SAYA MENGAMBIL SIKAP. Saya bisa menebak JALAN PIKIRAN dan ISI HATI seseorang. Maaf Mbak Mirta…, bukan berarti saya lancang bila saat ini saya bisa menebak perasaan Mbak Mirta terhadap saya.”
Mirta masih tetap diam. Bergeming pun tidak.
“Mbak Mirta menyukai saya? Menginginkan CINTA SAYA?”
Tebakan Arman benar-benar laksana anak panah yang meluncur tepat mengenai sasaran.
“ Tapi perlu Anda ketahui, Mbak Mirta…, saat ini CINTA SAYA berada di SUATU TEMPAT. Apabila Mbak Mirta benar-benar menginginkan cinta saya, mari saya tunjukkan di mana cinta saya berada.”
Dasar memang Mirta menaruh hati pada Arman, maka wanita cantik ini mau saja menuruti perkataan Arman. Hingga tak lama kemudian, mereka berdua tampak keluar dari mobil, lalu berjalan ke suatu tempat sepi di pinggiran desa. Ternyata…, Arman membawa Mirta ke AREAL PEKUBURAN!
“Di situlah cinta saya berada…,” Arman menunjuk sebuah makam. “Cinta saya telah TERKUBUR di LIANG LAHAT bersama jenazah ISTRI SAYA.”
Suasana jadi hening. Tak ada lagi kata yang keluar dari mulut Arman. Perlahan Mirta memberanikan diri menatap wajah lelaki itu. Ia melihat lelehan AIR MATA dari seorang lelaki yang biasa tampak TEGAR. Tapi kini lelaki itu telah berubah begitu LEMAH…. Penuh DUKA…. Penuh NESTAPA….
Arman menangis tersedu-sedan. Tangisan seorang lelaki yang telah bertahun-tahun HIDUP TANPA CINTA….
“Maafkan saya, Mas Arman…,” ucap lirih Mirta.
Tak ada balas ucapan dari Arman. Ia masih berusaha MEREDAM PERANG di dalam HATINYA.
“Maafkan saya, Mas Arman…,” ucap Mirta lagi. “Saya tidak bermaksud menyakiti hati Mas Arman.”
“Sayalah yang seharusnya minta maaf…,” sergah Arman tiba-tiba sambil terus menekan rasa hatinya. “Dengan tidak langsung, sayalah yang telah menyakiti hati Mbak Mirta….”
“Tidak apa-apa, Mas…. Justru setelah melihat semua ini, saya malah yakin terhadap apa yang saat ini sedang saya rasakan. Aku mencintaimu, Mas…. Aku benar-benar mencintaimu….”
Ganti Arman yang melihat setitik air bening keluar dari sudut mata Mirta. “Aku bukan lelaki yang pantas engkau cintai, Mirta. Maaf….”
“Kenapa, Mas? Apakah Mas Arman merasa aku tidak pantas…?”
“Bukan. Bukan begitu…. Bukankah sudah kukatakan bahwa CINTAKU TELAH TERKUBUR DI LIANG LAHAT. Aku tidak lagi punya cinta untuk diberikan kepada wanita manapun.”
“Sebagai MANUSIA yang dikarunia AKAL DAN BUDI, Mas Arman tentu bisa menuliskan SYAIR-SYAIR CINTA lagi.”
“Maaf…, PENA-ku telah KERING. HATI-ku pun telah BEKU untuk menciptakan semua itu…. Dan hanya ada satu jalan dimana aku bisa mendapatkan cintaku lagi….”
“Jalan yang bagaimana itu, Mas…?”
“Karena cintaku berada di LIANG LAHAT, maka hanya ada satu jalan untuk mendapatkannya. Yaitu…, jalan KEMATIAN….”
Suasana hening kembali. Tak ada yang bersuara. Hanya desir angin… menggerakkan daun-daun kamboja. Mendung mulai bergayut. Sepi….
By: Susilo Pranowo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SILAKAN BERKOMENTAR SESUKA HATI. NAMUN APAPUN ITU ADALAH CERMINAN DIRI ANDA.